Memasuki masa-masa pemilihan umum yang bertujuan menjaring pemimpin-pemimpin “berkelas”, ternyata memunculkan begitu banyak orang yang menyatakan dirinya memiliki kapasitas menjadi pemimpin. Namun sayang, justru diujung waktu pemungutan suara digelar, mereka justru membuat blunder yang mungkin akan menciptakan stigma negatif mengenai corak kepemimpinan mereka kelak. Beberapa tokoh yang kebetulan saat ini sedang dan pernah memimpin negeri ini, kemarin (31 Maret 2008) salah satu stasiun TV Swasta Nasional (mungkin juga stasiun TV yang lain) dan media cetak (1 April 2009), secara fulgar mempertontonkan amarah ke-tidakdewasa-an para tokoh yang seyogyanya tidak dilakukan oleh orang-orang sekelas mereka. Tindakan yang biasanya diucapkan oleh orang-orang yang tengah berputus asa dengan apa yang dia lakukan, orang-orang yang masih berusia muda dan orang-orang yang memilki pendidikan terbatas.
Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, Putri Tokoh Besar RI, Presiden RI periode 2000-2004, saat ini juga mencalonkan diri sebagai Capres), dalam kampanyenya di Bali menganjurkan kader dan simpatisan PDI-P untuk "mencoblos" bukan mencontreng. Entah kenapa tokoh negeri yang satu ini menganjurkan demikian, tapi yang jelas, dibenak saya dan tentu saja para pembuat kebijakan sistem pencontrengan(KPU), anjuran tersebut sangat mengecewakan dan merupakan langkah mundur.
Sekilas, mencontreng dan mencoblos tidaklah berbeda. Bagi sebagian orang mungkin tidak-lah berarti signifikan dan tidak berbeda. Tapi sebenarnya langkah kecil tersebut merupakan perubahan menuju langkah yang lebih besar. Perubahan dari proses menancapkan paku kemudian beralih ke menggoreskan pena? Perubahan dari menandai kertas dengan melubangi kertas menjadi menggoreskan pena dengan lebih halus dengan simbol yang diseoakati banyak orang. Bukan-kah penemuan pena atau tinta merupakan sebuah penemuan yang besar? apa jadinya jika pena atau tinta tidak pernah ditemukan? manusia jaman prasejarah menggambarkan sesuatu dengan benda-benda dari alam ke suatu tempat di alam, seperti dinding gua dengan memahat, tetapi orang modern yang berpikir lebih rasional menggunakan pena untuk menulis. Bukan-kah perubahan dari memahat menjadi menulis merupakan perubahan besar yang mengantarkan manusia pada dunia yang lebih baik? manusia yang lebih beradab?
Perubahan sistem contreng pada Pemilu tersebut merupakan langkah yang hendak ditempuh Bangsa Indonesia untuk sedikit lebih maju dengan mengedepankan perubahan pola pikir. Saya bukan hendak membela KPU atau pro pemerintah, tapi mendukung perbaikan dan bukan perubahan yang belum jelas arahnya.
Secara pasti saya juga tidak mengerti kenapa Putri Presiden Soekarno tersebut mengatakan hal yang demikian?? Apakah karena posisinya sebagai oposan pemerintah yang harus slalu menjaga jarak dan mengkritisi kebijakan pemerintah sehingga menentang seluruh kebijakan pemeritah, walaupun kebijakan yang telah dibuat juga telah melibatkan kader-kader dari partainya dan disepakati secara demokratis antara pemerintah dan parlemen. ataukah karena tindakan tersebut merupakan kritik terhadap lemahnya sistem penyelenggaraan Pemilu yang membingungkan rakyat? mungkin juga itu emosi semata, sebagai akibat dendam politik dan pribadi yang dipolitisasi?
Menurut saya, dengan dalih apapun, sebagai figur Megawati tidak selayaknya menganjurkan hal yang demikian pada rakyat yang jelas-jelas tidak bisa beretorika dan tidak akan kenyang dengan retorika. Dan, tidak selayaknya seorang negarawan membawa masyarakat kedalam ranah yang pelik. apalagi hanya untuk kepentingan dendam pribadi dan politik yang tidak dewasa yang juga bukan pendidikan politik.
Satu lagi, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Mungkin karena saking banyaknya tugas yang diemban dan banyaknya kritik yang masuk ke meja pemerintahnya atau mungkin juga sudah pusing karena tekanan politik dari luar dan dari dalam partainya. Dalam kunjungan keduanya di Situ Gintung berkaitan dengan musibah dini hari yang merenggut banyak nyawa rakyat, Wapres seolah memaki seorang mahasiswa yang "mencemoohnya", karena sebagai pemangku kekuasaan, pemerintah dinilai tidak mau menunjukkan sikap bertanggung jawab dalam peristiwa maut tersebut. Saya, tidak tahu tujuan kedatangannya kali itu sebenarnya apa, kampanye atau-kah murni karena panggilan nurani sebagai pemimpin negeri, dan tidak jelas juga mahasiswa tersebut memang kesal dengan pemerintah karena dia menjadi relawan disitu sehingga bisa tau penderitaan rakyat disekitar musibah kemudian menumpahkan kekecewaan itu kepada wapres yang kebetulan berkunjung. Ataukah memang itu orasi biasa para mahasiswa menyambut kedatangan pemegang kebijakan negara. Dalam kejadian itu, wapres secara spontan, jelas tanpa teks menanggapi "cemoohan" mahasiswa yang menganggap kunjungannya adalah kampanye
dan menanyakan penanggung jawab terjadinya musibah tersebut.
Karena memang, sebagaimana juga ditanggapi media, tanpa pertanggungjawaban aparat sangat mungkin banyak pihak akan cuci tangan dari permasalahan dan tidak menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran berharga bagi penataan ruang dan keselematan jiwa rakyat.
Terlepas dari banyaknya faktor yang menyelimuti "peristiwa pahit" dalam kunjungan Wapres JK ke Situ Gintung kemarin. Saya berpendapat, sebagai seorang pemimpin negara besar yang didaulat rakyat untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, tidak selayaknya wapres menanggapi pertanyaan kritis mahasiswa dengan nada tinggi. Sebaiknya Wapres JK berkaca, instropeksi diri dan menanyakan kembali esensi kehadirannya yang kedua kalinya ke tempat musibah Situ Gintung. Yang secara kebetulan juga dalam masa kampanye, kebetulan juga Wapres JK mencalonkan diri sebagai Presiden pada pemilu tahun 2009. kalau memang cukup dipantau melalui aparat terkait dan media, untuk menjaga salah tafsir rakyat semestinya memang Wapres JK menunjukkan keseriusan perhatiannya tanpa harus hadir ke lokasi.
Saya menyadari, Wapres JK juga manusia. tetapi saya juga yakin bahwa Wapres JK bukan manusia biasa. Wapres JK, paling tidak telah dipercaya rakyat untuk memimpin negerinya. Jelas bahwa Wapres JK memiliki kelebihan tertentu, setidaknya kelebihan dalam mengontrol emosi. Mengontrol ucapan yang semestinya tidak diucapkan oleh orang "sekelas" pemimpin negara.
Melihat peristiwa itu, saya jadi miris dan kemudian membayangkan akan hadirnya sesosok pemimpin yang telah digambarkan dalam novel memoar yang saya baca. Di dalam buku tersebut jelas terasa jauh bedanya pemimpin jaman dulu dan sekarang. Pemimpin jaman dulu akan terpukul dan merasa harus segera instropeksi diri ketika satu saja rakyatnya mencela karena kepemimpinannya maupun bawahannya. Pemimpin yang jaman dulu itu kemudian mengajak ngobrol pengkritiknya tentang alasan dia melontarkan kritik tersebut. Jika memang benar adanya, kemudian pemimpin tersebut bertindak sendiri kalau perlu atau memberikan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain untuk memperbaikinya.
Hanya berpendapat, saya menulis ini juga karena wapres sendiri sudah menyatakan kesiapannya untuk dikritik Blogger di dunia maya dan Megawati Soekarno Putri juga telah menggaungkan Demokrasi lewat partai besarnya.
semoga rakyat semakin cerdas dan negara mendorong kecerdasan bangsanya. dengan harapan kelak kita memiliki pemimpinan yang bijak-berkualitas.
Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, Putri Tokoh Besar RI, Presiden RI periode 2000-2004, saat ini juga mencalonkan diri sebagai Capres), dalam kampanyenya di Bali menganjurkan kader dan simpatisan PDI-P untuk "mencoblos" bukan mencontreng. Entah kenapa tokoh negeri yang satu ini menganjurkan demikian, tapi yang jelas, dibenak saya dan tentu saja para pembuat kebijakan sistem pencontrengan(KPU), anjuran tersebut sangat mengecewakan dan merupakan langkah mundur.
Sekilas, mencontreng dan mencoblos tidaklah berbeda. Bagi sebagian orang mungkin tidak-lah berarti signifikan dan tidak berbeda. Tapi sebenarnya langkah kecil tersebut merupakan perubahan menuju langkah yang lebih besar. Perubahan dari proses menancapkan paku kemudian beralih ke menggoreskan pena? Perubahan dari menandai kertas dengan melubangi kertas menjadi menggoreskan pena dengan lebih halus dengan simbol yang diseoakati banyak orang. Bukan-kah penemuan pena atau tinta merupakan sebuah penemuan yang besar? apa jadinya jika pena atau tinta tidak pernah ditemukan? manusia jaman prasejarah menggambarkan sesuatu dengan benda-benda dari alam ke suatu tempat di alam, seperti dinding gua dengan memahat, tetapi orang modern yang berpikir lebih rasional menggunakan pena untuk menulis. Bukan-kah perubahan dari memahat menjadi menulis merupakan perubahan besar yang mengantarkan manusia pada dunia yang lebih baik? manusia yang lebih beradab?
Perubahan sistem contreng pada Pemilu tersebut merupakan langkah yang hendak ditempuh Bangsa Indonesia untuk sedikit lebih maju dengan mengedepankan perubahan pola pikir. Saya bukan hendak membela KPU atau pro pemerintah, tapi mendukung perbaikan dan bukan perubahan yang belum jelas arahnya.
Secara pasti saya juga tidak mengerti kenapa Putri Presiden Soekarno tersebut mengatakan hal yang demikian?? Apakah karena posisinya sebagai oposan pemerintah yang harus slalu menjaga jarak dan mengkritisi kebijakan pemerintah sehingga menentang seluruh kebijakan pemeritah, walaupun kebijakan yang telah dibuat juga telah melibatkan kader-kader dari partainya dan disepakati secara demokratis antara pemerintah dan parlemen. ataukah karena tindakan tersebut merupakan kritik terhadap lemahnya sistem penyelenggaraan Pemilu yang membingungkan rakyat? mungkin juga itu emosi semata, sebagai akibat dendam politik dan pribadi yang dipolitisasi?
Menurut saya, dengan dalih apapun, sebagai figur Megawati tidak selayaknya menganjurkan hal yang demikian pada rakyat yang jelas-jelas tidak bisa beretorika dan tidak akan kenyang dengan retorika. Dan, tidak selayaknya seorang negarawan membawa masyarakat kedalam ranah yang pelik. apalagi hanya untuk kepentingan dendam pribadi dan politik yang tidak dewasa yang juga bukan pendidikan politik.
Satu lagi, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Mungkin karena saking banyaknya tugas yang diemban dan banyaknya kritik yang masuk ke meja pemerintahnya atau mungkin juga sudah pusing karena tekanan politik dari luar dan dari dalam partainya. Dalam kunjungan keduanya di Situ Gintung berkaitan dengan musibah dini hari yang merenggut banyak nyawa rakyat, Wapres seolah memaki seorang mahasiswa yang "mencemoohnya", karena sebagai pemangku kekuasaan, pemerintah dinilai tidak mau menunjukkan sikap bertanggung jawab dalam peristiwa maut tersebut. Saya, tidak tahu tujuan kedatangannya kali itu sebenarnya apa, kampanye atau-kah murni karena panggilan nurani sebagai pemimpin negeri, dan tidak jelas juga mahasiswa tersebut memang kesal dengan pemerintah karena dia menjadi relawan disitu sehingga bisa tau penderitaan rakyat disekitar musibah kemudian menumpahkan kekecewaan itu kepada wapres yang kebetulan berkunjung. Ataukah memang itu orasi biasa para mahasiswa menyambut kedatangan pemegang kebijakan negara. Dalam kejadian itu, wapres secara spontan, jelas tanpa teks menanggapi "cemoohan" mahasiswa yang menganggap kunjungannya adalah kampanye
dan menanyakan penanggung jawab terjadinya musibah tersebut.
Karena memang, sebagaimana juga ditanggapi media, tanpa pertanggungjawaban aparat sangat mungkin banyak pihak akan cuci tangan dari permasalahan dan tidak menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran berharga bagi penataan ruang dan keselematan jiwa rakyat.
Terlepas dari banyaknya faktor yang menyelimuti "peristiwa pahit" dalam kunjungan Wapres JK ke Situ Gintung kemarin. Saya berpendapat, sebagai seorang pemimpin negara besar yang didaulat rakyat untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, tidak selayaknya wapres menanggapi pertanyaan kritis mahasiswa dengan nada tinggi. Sebaiknya Wapres JK berkaca, instropeksi diri dan menanyakan kembali esensi kehadirannya yang kedua kalinya ke tempat musibah Situ Gintung. Yang secara kebetulan juga dalam masa kampanye, kebetulan juga Wapres JK mencalonkan diri sebagai Presiden pada pemilu tahun 2009. kalau memang cukup dipantau melalui aparat terkait dan media, untuk menjaga salah tafsir rakyat semestinya memang Wapres JK menunjukkan keseriusan perhatiannya tanpa harus hadir ke lokasi.
Saya menyadari, Wapres JK juga manusia. tetapi saya juga yakin bahwa Wapres JK bukan manusia biasa. Wapres JK, paling tidak telah dipercaya rakyat untuk memimpin negerinya. Jelas bahwa Wapres JK memiliki kelebihan tertentu, setidaknya kelebihan dalam mengontrol emosi. Mengontrol ucapan yang semestinya tidak diucapkan oleh orang "sekelas" pemimpin negara.
Melihat peristiwa itu, saya jadi miris dan kemudian membayangkan akan hadirnya sesosok pemimpin yang telah digambarkan dalam novel memoar yang saya baca. Di dalam buku tersebut jelas terasa jauh bedanya pemimpin jaman dulu dan sekarang. Pemimpin jaman dulu akan terpukul dan merasa harus segera instropeksi diri ketika satu saja rakyatnya mencela karena kepemimpinannya maupun bawahannya. Pemimpin yang jaman dulu itu kemudian mengajak ngobrol pengkritiknya tentang alasan dia melontarkan kritik tersebut. Jika memang benar adanya, kemudian pemimpin tersebut bertindak sendiri kalau perlu atau memberikan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain untuk memperbaikinya.
Hanya berpendapat, saya menulis ini juga karena wapres sendiri sudah menyatakan kesiapannya untuk dikritik Blogger di dunia maya dan Megawati Soekarno Putri juga telah menggaungkan Demokrasi lewat partai besarnya.
semoga rakyat semakin cerdas dan negara mendorong kecerdasan bangsanya. dengan harapan kelak kita memiliki pemimpinan yang bijak-berkualitas.
Komentar
Posting Komentar