Pernah kuliah di tiga universitas sekaligus dan lulus semua, dia juga pernah menggelandang di kota, kuliah filsafat tapi bergelar MBA, rambut gimbal rasta dan memiliki latar belakang yang tak pernah jelas. “…Percaya atau tidak, kami serahkan menurut kepercayaan Anda masing-masing...” itulah tulisan yang acap kali saya temukan di sejumlah media mengenai kesimpang-siuran berita tentang Mbah Surip yang tak “logis”.
foto Mbah Surip: VIVAnews, 15 Juli 2009
Melihat tampilannya, saya yakin kebanyakan orang tak akan mempermasalahkan latar belakang yang tak jelas serta cerita yang seakan dikarang. “Kebohongan fulgar” yang tak akan disentuh banyak orang dan tak pernah dipermasalahkan, karena memang tak merugikan banyak orang, tak memiliki tendensi profit maupun politis. Sekarang dia menjadi artis, dikenal banyak orang tapi gayanya tak berubah. Khas!, bahkan masih juga kos seharga 300 ribu per bulan, kemana-mana juga masih memakai sepeda motor dan dengan pakaian yang serba “pas-pasan” meski penerimaan yang ditaksir oleh kebanyakan orang, uangnya bisa mencapai 4,5 M!. anehnya juga, dia masih beli pakaian dengan harga Rp. 85 ribu. Dia juga tak segan berbagi rejeki dengan sesama, meskipun ”cuman” pengemis dan pengamen.
Pertama kali saya dengar lagu “Tak Gendong” karya Mbah Surip, saya merasa itu lagu konyol yang diciptakan oleh orang yang hanya pengen tenar dengan lagu asal. Rasa ini masih bertahan hingga beberapa waktu lamanya, tapi ketika sedikit saya ingin tahu tentang penyanyi lagu itu, saya justru ketawa. Perasaan biasa saja berubah menjadi suasana lawak, “dagelan”, mana mungkin seorang yang katanya lulusan Filsafat dapat gelar MBA, katanya juga pernah ke Amerika Serikat segala. Rambut gimbal rasta yang katanya tidak sengaja dan tidak tahu kalau ternyata dia meniru gaya Rastafaria. Gila orang ini! Beringsut, saya justru berfikiran agak berbeda (mungkin) dengan anggapan banyak orang yang hanya menikmati aliran baru lagu Mbah Surip. Hari ini, 25 Juli 2009 saya membaca sedikit perjalanan hidup Mbah Surip lewat artikel yang dipublikasikan VIVAnews. Saya kemudian berfikir dan sedikit mendalami maksud dari semua “fenonomena aneh” ini. Dia memberi pengemis uang 50 ribu kepada pengemis dan empat pengamen, kata yang terlontar dari mulutnya, “Sudah, aktingmu sudah bagus. Sekarang pulang sana.” Saat ditanya alasannya, si Mbah bilang hanya ingin berbagi rizki.
“…Dan kita pun melihat sebuah bukti dari popularitas sang mantan pengamen. Melihat kakek berambut gimbal ini, orang di tepi jalan, pengendara mobil yang melintas, tua muda, remaja sampai kakek-nenek, kontan melambaikan tangan sembari meneriakkan namanya.
“Ha-ha-ha ...!!!” Mbah Surip terbahak, sembari membalas lambaian fansnya...” (VIVAnews, 25 Juli 2009)
Ketenaran yang didambakan banyak orang ternyata oleh Mbah Surip justru ditertawakan, entah disengaja ataukah memang keluguan sifat orangnya. Saya merasa dia sedang menertawakan kehidupan. Menertawakan selebritas artis dan sebagian orang yang lagi dan pengen terkenal, kadang juga malah hanya demi ketenaran itu, orang rela mengeluarkan uang jutaan rupiah dan tak jarang juga menjual harga diri. Dengan latar belakang yang tak pernah jelas, dia seakan mengacuhkannya dan kemudian mengatakan pada saya ”...apalah arti sebuah usia dan asal muasal?..”
Kehidupan dia juga menggambarkan kesederhanaan yang mungkin saja tidak sengaja karena terpaksa atau mungkin dia memang sengaja mencari makna kehidupan dengan menggelandang. Perjalanan hidupnya mengajarkan saya tentang arti sebuah Kemerdekaan jiwa yang sejati ”... Lepas sekali seakan tidak ada beban," kata Indra Bekti. (VIVAnews, 22 Juli 2009).
Cerita kuliah di tiga tempat sekaligus, seakan menyindir banyak orang dan mencaci, ”apalah arti gelar?, sekarang, dengan uang semua bisa punya gelar, sedangkan yang bergelar tak berguna di masyarakat, bahkan kebanyakan gelar hanya untuk mencari pekerjaan dan menaikkan jabatan”.
foto Mbah Surip: VIVAnews, 15 Juli 2009
Melihat tampilannya, saya yakin kebanyakan orang tak akan mempermasalahkan latar belakang yang tak jelas serta cerita yang seakan dikarang. “Kebohongan fulgar” yang tak akan disentuh banyak orang dan tak pernah dipermasalahkan, karena memang tak merugikan banyak orang, tak memiliki tendensi profit maupun politis. Sekarang dia menjadi artis, dikenal banyak orang tapi gayanya tak berubah. Khas!, bahkan masih juga kos seharga 300 ribu per bulan, kemana-mana juga masih memakai sepeda motor dan dengan pakaian yang serba “pas-pasan” meski penerimaan yang ditaksir oleh kebanyakan orang, uangnya bisa mencapai 4,5 M!. anehnya juga, dia masih beli pakaian dengan harga Rp. 85 ribu. Dia juga tak segan berbagi rejeki dengan sesama, meskipun ”cuman” pengemis dan pengamen.
Pertama kali saya dengar lagu “Tak Gendong” karya Mbah Surip, saya merasa itu lagu konyol yang diciptakan oleh orang yang hanya pengen tenar dengan lagu asal. Rasa ini masih bertahan hingga beberapa waktu lamanya, tapi ketika sedikit saya ingin tahu tentang penyanyi lagu itu, saya justru ketawa. Perasaan biasa saja berubah menjadi suasana lawak, “dagelan”, mana mungkin seorang yang katanya lulusan Filsafat dapat gelar MBA, katanya juga pernah ke Amerika Serikat segala. Rambut gimbal rasta yang katanya tidak sengaja dan tidak tahu kalau ternyata dia meniru gaya Rastafaria. Gila orang ini! Beringsut, saya justru berfikiran agak berbeda (mungkin) dengan anggapan banyak orang yang hanya menikmati aliran baru lagu Mbah Surip. Hari ini, 25 Juli 2009 saya membaca sedikit perjalanan hidup Mbah Surip lewat artikel yang dipublikasikan VIVAnews. Saya kemudian berfikir dan sedikit mendalami maksud dari semua “fenonomena aneh” ini. Dia memberi pengemis uang 50 ribu kepada pengemis dan empat pengamen, kata yang terlontar dari mulutnya, “Sudah, aktingmu sudah bagus. Sekarang pulang sana.” Saat ditanya alasannya, si Mbah bilang hanya ingin berbagi rizki.
“…Dan kita pun melihat sebuah bukti dari popularitas sang mantan pengamen. Melihat kakek berambut gimbal ini, orang di tepi jalan, pengendara mobil yang melintas, tua muda, remaja sampai kakek-nenek, kontan melambaikan tangan sembari meneriakkan namanya.
“Ha-ha-ha ...!!!” Mbah Surip terbahak, sembari membalas lambaian fansnya...” (VIVAnews, 25 Juli 2009)
Ketenaran yang didambakan banyak orang ternyata oleh Mbah Surip justru ditertawakan, entah disengaja ataukah memang keluguan sifat orangnya. Saya merasa dia sedang menertawakan kehidupan. Menertawakan selebritas artis dan sebagian orang yang lagi dan pengen terkenal, kadang juga malah hanya demi ketenaran itu, orang rela mengeluarkan uang jutaan rupiah dan tak jarang juga menjual harga diri. Dengan latar belakang yang tak pernah jelas, dia seakan mengacuhkannya dan kemudian mengatakan pada saya ”...apalah arti sebuah usia dan asal muasal?..”
Kehidupan dia juga menggambarkan kesederhanaan yang mungkin saja tidak sengaja karena terpaksa atau mungkin dia memang sengaja mencari makna kehidupan dengan menggelandang. Perjalanan hidupnya mengajarkan saya tentang arti sebuah Kemerdekaan jiwa yang sejati ”... Lepas sekali seakan tidak ada beban," kata Indra Bekti. (VIVAnews, 22 Juli 2009).
Cerita kuliah di tiga tempat sekaligus, seakan menyindir banyak orang dan mencaci, ”apalah arti gelar?, sekarang, dengan uang semua bisa punya gelar, sedangkan yang bergelar tak berguna di masyarakat, bahkan kebanyakan gelar hanya untuk mencari pekerjaan dan menaikkan jabatan”.
Komentar
Posting Komentar