Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari naas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya (catros wordpress.com).
Ternyata sebelum keberangkatan ke puncak Mahameru, Soe sudah bercerita yang aneh-aneh, Soe selalu ingat dengan kematian. Dan ternyata petaka itu datang juga, tepat sebelum hari kelahiran Soe. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya, Soe menghembuskan nafas terakhirnya,, di gunung tertinggi di pulau Jawa, diatas kecamuk letupan Jonggring Seloko. Ada dua hal yang Soe titipkan ke temannya sebelum meninggal, yaitu batu dan cemara. Soe tidak meninggal sendirian, tetapi dengan temannya Idhan Lubis.
Satu hal yang masih tetap terngiang tentang rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di pulau Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di pulau Jawa ini,” (catros wordpress.com).
Kini Soe Hok Gie telah tiada, tapi semangat perjuangannya serta kecintaannya terhadap gunung tidak pernah pudar.
Komentar
Posting Komentar