Kayak'nya, itulah headline yang pas buatnya, gambaran singkat versi saya untuk menjelaskan karakter dan gayanya yang khas saat memimpin suatu instansi. Dan, sepertinya saya menemukan idola baru yang inspiratif dalam kepemimpinan, humanisme, enterpreneur, pengetahuan yang luas, integral dan komprehensif.
Dia adalah Dahlan Iskan (lahir tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa
Timur), adalah CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos News Network, yang
bermarkas di Surabaya. Ia juga adalah Direktur Utama PLN sejak 23 Desember
2009. Pada tanggal 19 Oktober 2011, berkaitan dengan reshuffle Kabinet
Indonesia Bersatu II, Dahlan Iskan diangkat sebagai Menteri Negara Badan Usaha
Milik Negara menggantikan Mustafa Abubakar yang sedang sakit.
Tulisan-tulisan
Dahlan Iskan sangat ringan tapi begitu mengena, ide-ide-nya kreatif dan to
the point, tampilan yang low profile, 'nyleneh' dalam berpakaian dan gaya
hidup. eeemmm... maklum kali yaa, mungkin karena semua sudah dia rasakan, dia
sudah punya semua, jadi buat apa mengada-ada dan meminta-minta. Contohnya, dia
gag minta fasilitas dari negara atas jabatannya, dia masih setia menunggangi
mobil pribadinya. Hebat toh, jarang lo pejabat-pejabat Republik Indonesia ini
yang mau begitu, kalau-pun ada sedikit, sebut saja Mantan Ketua MPR, Hidayat
Nur Wahid.
Salah
satu tulisan yang baru saja saya baca, sangat menarik, bagaimana dia
menghidupkan suasana rapat dan memprovokasi semua orang bicara mengenai ide
perbaikan Maskapai Merpati yang pamornya anjlok gara-gara tragedi kecelakaan di
Kaimana dan terus meruginya perusahaan plat merah ini.
Tulisannya
mengenai jalannya meeting dan style leadershipnya saat memimpin
rapat dapat anda simak pada alenia-alenia yang saya comot dari web-blog
dahlaniskan.wordpress.com yang berjudul Bisa-kah Merpati Hidup Lagi.
Kadang
libur itu penting. Pada hari tanpa kesibukan itulah persoalan yang rumit bisa
dibicarakan secara mendasar, detail, dan habis-habisan. Misalnya, pada hari
libur Sabtu lalu. Enam jam penuh bisa membicarakan rumitnya persoalan Merpati
Nusantara Airline.
Tidak
hanya direksi dan komisaris yang hadir, tapi juga seluruh manajer senior. Ruang
rapat sampai tidak cukup sehingga pindah ke ruang tamu yang secara kilat
dijadikan arena perdebatan.
Meski
saya yang memimpin rapat, tidak ada hierarki di situ. Segala macam jabatan dan
predikat saya minta ditanggalkan. Tidak ada menteri, tidak ada Dirut, tidak ada
komisaris, dan tidak ada bawahan. Semua sejajar sebagai orang bebas. Duduknya
pun tidak diatur dan tidak teratur.
Operator
laptop dan proyektornya sampai duduk di lantai. Kebetulan saya juga hanya
memakai kaus dan celana olahraga. Belum mandi pula. Baru selesai berolahraga
bersama 30.000 karyawan dan keluarga Bank Rakyat Indonesia se-Jakarta memperingati
ultah ke-116 mereka yang gegap gempita.
Pindah
dari acara BRI ke acara Merpati pagi itu rasanya seperti pindah dari surga ke
Marunda. Dari perusahaan yang labanya Rp 14 triliun ke perusahaan yang ruginya
tidak habis-habisnya. Dari jalannya operasional saja Merpati sudah rugi besar. Apalagi,
kalau ditambah beban-beban utangnya. Tiap bulan pendapatannya hanya Rp 133
miliar. Pengeluarannya Rp 178 miliar. Pesawatnya tua-tua. Sekali dapat yang
baru MA 60 pula.
Suasana
kerja di Merpati pun sudah seperti perusahaan yang no hope! Maka, jelaslah bahwa persoalan Merpati tidak bisa
diselesaikan dengan cara biasa.
Restrukturisasi
perusahaan dengan cara modern sudah dicoba sejak dua tahun lalu. Belum ada
hasilnya “bahkan tanda-tandanya sekali pun. Upaya restrukturisasi ini telah
menghabiskan enersi luar biasa. Lebih-lebih menghabiskan waktu dan kesempatan.
Panjangnya
proses pengadaan pesawat Tiongkok MA 60 membuat peluang lama hilang begitu
saja. Rute-rute kosong yang semula akan diisi MA 60 telanjur dimasuki Wing dan
Susi Air yang lebih kompetitif. MA 60 yang menurut para pilot merupakan pesawat
yang bagus, lebih berat lagi bebannya setelah terjadi kecelakaan di Kaimana.
Peristiwa
yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kualitas pesawat itu ikut membuat
Merpati ibarat petinju yang sudah sempoyongan tiba-tiba terkena pukulan berat.
Sebelum
kecelakaan Kaimana, penumpang sebenarnya lebih senang naik MA 60. Pesawat ini
sengaja didesain untuk negara tropis. AC-nya bisa berfungsi sejak penumpang
masuk pesawat. Tidak seperti pesawat baling-baling lain yang panas udara
kabinnya luar biasa dan baru berkurang setelah beberapa menit di udara.
Merpati
memang sering kehilangan momentum. Bahkan, seperti sudah kehilangan momentum
sejak dari lahirnya. Ketika kali pertama dipisahkan dari Garuda,
pesawat-pesawatnya diambil, tapi utangnya ditinggalkan. Beban-beban lain juga
menumpuk.
Semua
itu enak sekali dijadikan kambing hitam oleh manajemen. Setiap manajemen yang
gagal punya alasan pembenarannya. Kadang manajemen lebih sibuk mengumpulkan
kambing hitam daripada bekerja keras dan melakukan efisiensi.
Benarkah
tidak ada hope lagi di Merpati?
Itulah
yang melalui forum pada hari libur Sabtu lalu ingin saya ketahui. Terutama
sebelum saya membuat keputusan yang tragis: ditutup! Segala macam usaha sudah
dilakukan.
Dua
bulan lalu sebenarnya saya sudah menyederhanakan manajemen Merpati. Jabatan
wakil Dirut saya hapus. Jumlah direktur saya kurangi. Ini agar manajemen lebih
lincah. Juga terbebas dari beban psikologis karena wakil Dirutnya lebih senior
dari sang Dirut.
Rupanya
itu belum cukup. Saya harus masuk lebih ke dalam. Tiba-tiba saya ingin
berdialog langsung. Dialog yang intensif dan tanpa batas. Dialog dengan jajaran
yang lebih bawah.
Di
masa lalu saya sering mendapat pengalaman ini: banyak ide bagus justru datang
dari orang bawah yang langsung bekerja di lapangan. Bukan dari konseptor yang
bekerja di belakang meja.
Memang
ada rencana pemerintah dan DPR untuk membantu keuangan Merpati Rp 561 miliar.
Tapi, akankah uang itu bermanfaat? Atau hanya akan terbang terhambur begitu
saja ke udara? Seperti ratusan miliar uang-uang negara sebelumnya?
Tentu
saya tidak ingin seperti itu. Harus ada jaminan ini: dengan suntikan tersebut
Merpati bisa hidup dan berkembang. Tidak seperti suntikan-suntikan uang ratusan
miliar rupiah di masa lalu. Ini juga harus menjadi uang terakhir dari negara
untuk Merpati. Sudah terlalu besar negara terus menyuntik Merpati, dengan hasil
yang masih begitu-begitu saja.
Karena
itu, saya kemukakan terus terang di forum: daripada uang Rp 561 miliar tersebut
terhambur ke udara begitu saja dan karyawan pada akhirnya kehilangan pekerjaan
juga, lebih baik Merpati ditutup sekarang juga. Uang itu bisa dibelikan kebun
kelapa sawit. Tiap karyawan mendapat pesangon 2 ha kebun sawit.
Orang
Riau punya dalil: satu keluarga yang punya 2 ha kebun sawit, sudah bisa hidup
sampai menyekolahkan anak ke ITB! Memiliki 2 ha kebun sawit lebih memberikan
masa depan daripada terus menjadi karyawan Merpati.
Tentu
ide ini membuat pertemuan heboh. Sekaligus peserta pertemuan tertantang untuk
menolaknya. Mereka tidak rela kalau Merpati harus mati. Kebun sawit bukan
bandingan untuk masa depan. Oke. Saya setuju. So what? Kalau dari
operasionalnya saja sudah rugi, masih adakah alasan untuk mempertahankannya?
Maka,
saya ajukan ide untuk melakukan pembahasan topik per topik. Ini untuk mengecek
apakah benar masih ada harapan?
Topik
pertama adalah: bagaimana membuat pendapatan Merpati lebih besar daripada
pengeluarannya. Kalau tidak ada jalan yang konkret di topik ini, putusannya
jelas: Merpati harus ditutup.
Asumsinya:
bagaimana bisa memikul beban yang lain kalau dari operasionalnya saja sudah
rugi besar. Berapa pun modal digerojokkan tidak akan ada artinya. Lebih baik
untuk beli kebun sawit!
Meski
logika sawit begitu jelas dan rasional, rupanya masih banyak yang takut
mengubah jalan hidup. Ketika hal itu saya kemukakan, seseorang nyeletuk dari
arah belakang. “Salah Pak Dahlan! Bukan kami takut menjadi petani sawit, tapi
Merpati ini masih punya peluang besar,” katanya. “Asal semua orang di Merpati
punya etos kerja yang hebat,” tambahnya.
Etos
kerja ini begitu sering dia sebut sebagai penyebab utama
kesulitan
Merpati sekarang ini. Dia sangat percaya etos itulah kuncinya, sehingga
sepanjang enam jam rapat itu dia selalu dipanggil dengan nama Pak Etos.
Pak
Etos mungkin benar. Tapi, itu masih kurang konkret. Yang diperlukan adalah usul
konkret dan realistis. Yang bisa membuat pendapatan lebih besar daripada
pengeluaran. Yang bisa dilaksanakan dalam keadaan Merpati as is.
Pagi
itu begitu sulit mencari ide yang membumi. Saya pun lantas teringat pada
gurauan pedagang-pedagang sukses seperti ini: “Tuhan itu baik. Tapi, uanglah
yang bisa membuat orang mengatakan Tuhan itu baik”.
Rupanya
perlu rangsangan material untuk melahirkan ide-ide kreatif. Rupanya perlu dana
untuk mendatangkan Tuhan. Maka, saya tawarkan di forum itu: peserta rapat yang
mengusulkan ide terbaik akan saya beri hadiah satu mobil baru, Avanza, dari
kantong saya pribadi.
Rapat
pun menjadi heboh. Gelak tawa memenuhi ruangan. Ide belum muncul, tapi warna
mobil sudah harus dibicarakan. Setuju: warna krem! Neraka sawit ternyata tidak
menarik. Surga Avanzalah yang menggiurkan. Pantaslah kalau Jakarta macet!
Tuhan
rupanya benar-benar datang. Inspirasi bermunculan. Hampir semua peserta rapat
mengangkat tangan. Mereka berebut mendaftarkan ide. Angkat tangan lagi untuk
ide kedua. Ide ketiga. Bahkan, ada yang sampai mendaftarkan lima ide.
Setelah
terkumpul 53 ide, barulah diperdebatkan. Mana yang konkret dan mana yang
terlalu umum. Mana yang menghasilkan rupiah, mana yang menghasilkan semangat.
Mana yang membuat pendapatan lebih besar, mana yang membuat pengeluaran lebih
kecil.
Ide-ide
itu kemudian di-ranking. Dari yang terbaik sampai yang terkurang. Dari yang
terbanyak menghasilkan rupiah sampai yang menghasilkan etos. Perdebatan amat
seru karena masing-masing mempertahankan idenya. Terjadi diskusi yang luar
biasa intensif, mengalahkan rapat kerja bagian pemasaran.
Dari
ranking yang dibuat, memang sudah bisa diketahui siapa yang bakal dapat mobil.
Tapi, ada yang protes. “Sebaiknya hadiah baru diberikan setelah ide itu jadi
kenyataan,” teriaknya.
Rupanya,
dia ingin membuktikan bahwa meski idenya kalah ranking, dalam pelaksanaannya
kelak akan mengalahkan juara ranking itu. Setuju. Kita lihat dulu kenyataan di
lapangan. Peluang bagi ide yang ranking-nya di bawah pun masih terbuka.
Tentu
ide-ide itu masih dirahasiakan. Ini terutama karena masih akan dirumuskan dalam
bentuk program kerja nyata di lapangan. Tapi, semua ide memang sangat menarik.
Dari sinilah bisa diketahui bahwa Merpati seharusnya tidak akan rugi secara
operasional. Kalau ini terlaksana, pemilik dana tidak akan ragu membantu.
Alhamdulillah. Tuhan memberkati.
Topik
berikutnya adalah MA 60. Bagaimana kinerjanya selama ini? Apakah bisa
menghasilkan uang dan terutama bagaimana mengembalikan citra yang rusak akibat
kecelakaan Kaimana?
Banyak
juga ide gila yang muncul. Termasuk ide bahwa khusus untuk MA 60 sebaiknya
dicarikan pilot bule. Seperti pesawatnya Susi Air. Orang kita lebih percaya
kepada bule daripada bangsa sendiri. Ketidakpercayaan orang terhadap MA 60 bisa
ditutup dengan pilot orang bule. Huh! Saya benci dengan ide ini.
Tapi,
demi Merpati saya menerimanya!
Maka,
setelah enam jam berdebat, tepat pukul 16.00, rapat pun diakhiri dengan lega.
Saya bisa segera pulang untuk mandi pagi!
(*)
Dahlan
Iskan
Menteri
BUMN
Komentar
Posting Komentar