Tahapan Pilpres sudah selesai dilakukan, secara pribadi saya berharap Pilpres hanya berlangsung satu putaran saja. Saya bukanya fanatis terhadap SBY atao tidak suka terhadap Mega dan JK atau berpihak pada salah satu pasangan, tetapi saya merasa jenuh jika harus datang lagi ke TPS. Selain itu, saya merasa dipusingkan oleh berbagai macam isu yang berhembus selama musim kampanye. Tidak tau darimana asalnya, mulai isu Agama salah satu istri pasangan, isu menggunakan jilbab juga oleh istri pasangan, DPT bermasalah yang dinilai mencederai hak poltik rakyat dan dianggap sebagai kecurangan pihak berkuasa, praktek ekonomi Neoliberal yang dianggap tidak berpihak kepada "wong cilik" sampai dengan nomor urut yang disangkutpautkan dengan sifat-sifat ke-Tuhan-an!. Sementara itu, pihak yang diserang mengaku sebaliknya. Mengenai isu yang terakhir ini, kemarin sehari sebelum pungutan suara saya sempat ngobrol-ngobrol kecil dengan teman kantor.
Singkat cerita, dalam dialog tersebut tersurat kata "....Her, titip no. 3.." saya tanya kenapa? "..gak munafik aja.." katanya. lebih jauh aku tanya, "apa cuman itu?" lantas dia menjawab, "Herii... bilangan ganjil itu disukai Tuhan.." seakan tau apa yang aku tanyakan selanjutnya, kemudian dia melanjutkan argumennya dengan cepat sembari berkata, "..kecuali nomor satu! karena satu itu kepunyaan Tuhan...".
Setelah dialog itu, saya yang tadinya tidak begitu paham dengan masalah Politisasi Agama, akhirnya menjadi ngeh (paham). Seakan-akan kasus tersebut menjadi contoh faktual, yang dimaksud oleh beberapa pakar politik sebagai isu agama yang dipelintir ke ranah politik yang tidak sedikit pula membingungkan masyarakat. Menurut saya memang isu-isu seperti ini sangat-lah membahayakan dan saya sepakat dengan pendapat salah satu direktur sebuah lembaga Penelitian di Indonesia yang mengatakan bahwa, politisasi agama bukanlah tindakan cerdas karena tidak menggunakan alasan rasional yang bisa dibandingkan. Merujuk pada hasil survei beberapa Lembaga Survei Nasional yang telah mempublikasikan hasil risetnya. Saya membuat suatu pengandaian kecil, jika nomor 3 tidak jadi Presiden, apakah kemudian Tuhan sudah mulai tidak suka dengan bilangan ganjil? dan, agak sedikit lebih parah lagi, jika saya mempertanyakan nomor satu! Jika nomor 1 tidak jadi Presiden, apakah kemudian Tuhan tidak satu lagi? tidak ESA? apakah Tuhan tidak Konsisten dengan sifat-sifat Ketuhanan-Nya?
Sudah tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana respon pemuka-pemuka agama menyikapi hal ini jika merebak di Masyarakat, tapi yang lebih aneh! tidak sedikit juga mereka larut dalam euforia politisasi agama. Karena sebab yang demikian ini, wajar jika mereka tidak lagi digubris umatnya. Keadaan yang akan lebih membahayakan lagi adalah, umat tidak memiliki figur teladan dalam kehidupan sehari-hari. Jika demikian kondisinya, maka kehidupan bernegara akan jauh dari nilai-nilai universal agama yang seharusnya termanifestasikan ke dalam aspek-aspek kehidupan yang luas. Dalam hal ini, saya sepakat dengan pendapat Rektor Universitas Paramadina, Anis Baswedan yang mengatakan bahwa, agar menjadi nilai universal tidak perlu mencantumkan label agama di dalamnya. Dijalani saja, jika sudah menjadi nilai dasar masyarakat, maka nilai universal agama akan tercipta.
Agama adalah urusan pribadi antara Hamba dan Tuhannya. Bukan memisahkan agama dari kehidupan (sekuler) tapi menjadikan agama sebagai kepala dalam memimpin kehidupan, termasuk politik dan ilmu. Jika agama lebih otoriter dibanding ilmu , maka banyak ilmuwan yang dipenjarakan karena penemuannya, sebut saja Bacon (ilmuwan Inggris) atau pemuka agama dianggap Tuhan karena memiliki kelebihan. Sebaliknya juga seperti itu.
Singkat cerita, dalam dialog tersebut tersurat kata "....Her, titip no. 3.." saya tanya kenapa? "..gak munafik aja.." katanya. lebih jauh aku tanya, "apa cuman itu?" lantas dia menjawab, "Herii... bilangan ganjil itu disukai Tuhan.." seakan tau apa yang aku tanyakan selanjutnya, kemudian dia melanjutkan argumennya dengan cepat sembari berkata, "..kecuali nomor satu! karena satu itu kepunyaan Tuhan...".
Setelah dialog itu, saya yang tadinya tidak begitu paham dengan masalah Politisasi Agama, akhirnya menjadi ngeh (paham). Seakan-akan kasus tersebut menjadi contoh faktual, yang dimaksud oleh beberapa pakar politik sebagai isu agama yang dipelintir ke ranah politik yang tidak sedikit pula membingungkan masyarakat. Menurut saya memang isu-isu seperti ini sangat-lah membahayakan dan saya sepakat dengan pendapat salah satu direktur sebuah lembaga Penelitian di Indonesia yang mengatakan bahwa, politisasi agama bukanlah tindakan cerdas karena tidak menggunakan alasan rasional yang bisa dibandingkan. Merujuk pada hasil survei beberapa Lembaga Survei Nasional yang telah mempublikasikan hasil risetnya. Saya membuat suatu pengandaian kecil, jika nomor 3 tidak jadi Presiden, apakah kemudian Tuhan sudah mulai tidak suka dengan bilangan ganjil? dan, agak sedikit lebih parah lagi, jika saya mempertanyakan nomor satu! Jika nomor 1 tidak jadi Presiden, apakah kemudian Tuhan tidak satu lagi? tidak ESA? apakah Tuhan tidak Konsisten dengan sifat-sifat Ketuhanan-Nya?
Sudah tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana respon pemuka-pemuka agama menyikapi hal ini jika merebak di Masyarakat, tapi yang lebih aneh! tidak sedikit juga mereka larut dalam euforia politisasi agama. Karena sebab yang demikian ini, wajar jika mereka tidak lagi digubris umatnya. Keadaan yang akan lebih membahayakan lagi adalah, umat tidak memiliki figur teladan dalam kehidupan sehari-hari. Jika demikian kondisinya, maka kehidupan bernegara akan jauh dari nilai-nilai universal agama yang seharusnya termanifestasikan ke dalam aspek-aspek kehidupan yang luas. Dalam hal ini, saya sepakat dengan pendapat Rektor Universitas Paramadina, Anis Baswedan yang mengatakan bahwa, agar menjadi nilai universal tidak perlu mencantumkan label agama di dalamnya. Dijalani saja, jika sudah menjadi nilai dasar masyarakat, maka nilai universal agama akan tercipta.
Agama adalah urusan pribadi antara Hamba dan Tuhannya. Bukan memisahkan agama dari kehidupan (sekuler) tapi menjadikan agama sebagai kepala dalam memimpin kehidupan, termasuk politik dan ilmu. Jika agama lebih otoriter dibanding ilmu , maka banyak ilmuwan yang dipenjarakan karena penemuannya, sebut saja Bacon (ilmuwan Inggris) atau pemuka agama dianggap Tuhan karena memiliki kelebihan. Sebaliknya juga seperti itu.
Komentar
Posting Komentar