Menempatkan diri di tempat yang tepat sesuai posisinya (tepo sliro) memang tidak mudah tetapi bukan berarti tak mungkin.
Malam ketika saya bercakap-cakap dengan beberapa teman saya sempat mengungkapkan pemikiran saya tetang perlunya penciptaan kondisi yang membudayakan bawahan harus menempatkan dirinya sebagai "bawahan" dan seharusnya memiliki budaya kerja tertentu yang tidak bisa disamakan dengan atasan.
Pekerjaan harian tidaklah sama dengan staf. Pekerja harian harus dapat menempatkan dirinya di tempat yang berbeda dengan staf (yang bisa dibilang sebagai atasan), karena staf bisa meminta "tolong" (memerintah) pekerja harian untuk melakukak sesuatu demi kelancaran pekerjaan staf tetapi tidak bisa sebaliknya. Pekerja harian juga harus menyesuaikan jam istirahat dengan jam istirahat jam staf. Kedekatan pekerja harian dengan staf tidak boleh diartikan bahwa mereka bisa berbuat seenaknya tanpa memiliki rasa "sungkan".
Kesamaan antara keduanya hanyalah terkait budaya kerja dlam porsi yang berbeda. Contoh simpel adalah datang tepat waktu. Semua karyawan (staf ataupun harian/outsourcesing) harus datang tepat pada waktu dan menghormati ketentuan perusahaan. Tidak bisa kemudian pekerja harian mengikuti jam kerja staf. Pekerja harian dapat pulang tepat waktu, jika berlebih atas persetujuan dan atau permintaan maka dihitung sebagai lembur (sebagian) staf pada perusahaan yang berbeda jika menggunakan waktu berlebih tidak dihitung sebagai lembur (over time) tetapi kesamaannya adalah, semua karyawan harus pulang minimal pada jam yang telah ditentukan.
Dengan proporsi jam kerja yang berbeda, maka memungkinkan pula terjadinya perbedaan beban pekerjaan.
Inti dari semua permaslahan, adalah bahwa pekerja harian bekerja secara kuantitaif selain juga dituntut berkualitas tetapi staf bekerja berdasrkan tanggung jawab kualitas yang dituntut memiliki kuatitas lebih.
Malam ketika saya bercakap-cakap dengan beberapa teman saya sempat mengungkapkan pemikiran saya tetang perlunya penciptaan kondisi yang membudayakan bawahan harus menempatkan dirinya sebagai "bawahan" dan seharusnya memiliki budaya kerja tertentu yang tidak bisa disamakan dengan atasan.
Pekerjaan harian tidaklah sama dengan staf. Pekerja harian harus dapat menempatkan dirinya di tempat yang berbeda dengan staf (yang bisa dibilang sebagai atasan), karena staf bisa meminta "tolong" (memerintah) pekerja harian untuk melakukak sesuatu demi kelancaran pekerjaan staf tetapi tidak bisa sebaliknya. Pekerja harian juga harus menyesuaikan jam istirahat dengan jam istirahat jam staf. Kedekatan pekerja harian dengan staf tidak boleh diartikan bahwa mereka bisa berbuat seenaknya tanpa memiliki rasa "sungkan".
Kesamaan antara keduanya hanyalah terkait budaya kerja dlam porsi yang berbeda. Contoh simpel adalah datang tepat waktu. Semua karyawan (staf ataupun harian/outsourcesing) harus datang tepat pada waktu dan menghormati ketentuan perusahaan. Tidak bisa kemudian pekerja harian mengikuti jam kerja staf. Pekerja harian dapat pulang tepat waktu, jika berlebih atas persetujuan dan atau permintaan maka dihitung sebagai lembur (sebagian) staf pada perusahaan yang berbeda jika menggunakan waktu berlebih tidak dihitung sebagai lembur (over time) tetapi kesamaannya adalah, semua karyawan harus pulang minimal pada jam yang telah ditentukan.
Dengan proporsi jam kerja yang berbeda, maka memungkinkan pula terjadinya perbedaan beban pekerjaan.
Inti dari semua permaslahan, adalah bahwa pekerja harian bekerja secara kuantitaif selain juga dituntut berkualitas tetapi staf bekerja berdasrkan tanggung jawab kualitas yang dituntut memiliki kuatitas lebih.
Komentar
Posting Komentar