Langsung ke konten utama

Menciptakan Budaya dengan Sistem

Sekitar kuartal pertama tahun 2009 yang lalu saya sempat bersitegang dengan teman sekerja saya yang lebih senior dari saya dalam segi usia dan lama dia bekerja. Keributan argumen itu terjadi saat kami sedang mengikuti pelatihan di Bogor. Permasalahan yang saat itu kami perdebatkan adalah tragedi meninggalnya seorang pemain bola akibat tendangan beringas pemain lawan yang diulas oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional. Tendangan itu bersarang di bagian perutnya, entah karena kondisinya sedang tidak fit, faktor kesengajaan ataukah memang karena lagi apes, pemain tadi meninggal setelah menjalani perawatan.

Sejurus kemudian, pikiran saya
langsung melayang teringat teman main saya sewaktu kami sering main bola di kampung halaman. Teman saya ini memang pandai main bola sekaligus juga pandai bela diri silat, sedikit bumbu sentimen terhadap lawan (yang juga satu kampung) dan trik dalam bermain, kakinya melayang ke bagian rongga perut lawan. Dalam pandangan orang awam, kejadian itu sangat wajar karena dalam suasana perebutan bola atas. Lawan seketika langsung protes dengan berteriak, teman saya itu spontan mengangkat tangannya sebagai pertanda kalau dia tidak melakukan apa-apa. Ketegangan sempat terjadi walaupun tidak berlangsung lama, pertandingan-pun dimulai kembali.

Ternyata tidak demikian dengan pengakuan teman saya. Selepas pertandingan kecil itu usai, dia bercerita kalau kejadian yang berlangsung di lapangan dilakukan dengan sengaja. Dia memang melompat ke atas sambil mengangkat kakinya dan kemudian sedikit menghentakkan kakinya ke depan, ke arah perut lawan main itu.

Anak dari sepupu saya yang asal Surabaya, juga pemain bola. Lumayan hebat untuk anak sekelasnya pada saat saya masih seusia anak sekolah SMP. Dia menceritakan kalau bermain bola juga ada trik main 'nakalan', bagaimana cara menjatuhkan lawan, melakukan bodycharge atau sekedar mengahalangi laju larinya. Pada saat saya berlatih di klub kampung, saya juga diajari bagaimana berjibaku dengan lawan pada saat di udara, tidak hanya bagaimana nendang bola agar bisa mengarah lurus atau membelokkan arah. Jadi, tidak saja diajari bermain bersih, tetapi bermain keras dan kasar-pun dijadikan menu latihan.

Melihat rekaman ulang insiden matinya pemain bola untuk kesekian kalinya di seluruh dunia dan beberapa kasus brutal lain serta pengalaman saya tadi membuat opini saya tergiring untuk membuat kesimpulan sementara bahwa kejadian tersebut lebih banyak karena unsur kesengajaan. Kesengajaan yang timbul oleh karena peraturan yang tidak tegas atau malah tidak ada! Dan, mungkin juga karena pembuat peraturan yang tidak memiliki wibawa.

Terus terang saja, saya miris melihat persepakbolaan nasional yang dari hari ke hari tidak menunjukkan perubahan menuju perbaikan. Coba-lah mari kita tengok
Peter White, seorang pelatih yang berhasil mengangkat prestasi Thailand di ajang pertarungan sepak bola Asean. Namun, apa yang terjadi setelah dia ditarik menjadi pelatih Timnas Merah Putih? apakah prestasi Timnas naik daun? Ternyata tidak juga demikian!. Saya rasa, dengan pelatih yang sama tentu seharusnya pemain kita bisa mengalahkan Thailand bukan? Tapi, kenyataannya apa? Thailand adalah momok bagi Timnas Indonesia. Kesimpulan saya selanjutnya adalah "ini yang salah bukan pelatihnya, yang salah adalah pemainnya, ini kebiasaan buruk bangsa, mental buruk pemain!"

Itu tadi masalah prestasi pemain dan tentu PSSI yang menaunginya, sebagai lembaga independen yang pernah dipimpin oleh narapidana!, belum lagi masalah ribut-ribut di lapangan dan regulasi kompetisi yang sering berganti-ganti. Kenapa dengan Indonesia?? itu hanyalah sepenggal pertanyaan saya terhadap saya dan bangsa saya, tidak bisakah kita memiliki budaya yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa? tidak bisakah kita membangun budaya bangsa yang akan mengangkat pamor bangsa dan negara?

Kenapa juga kita sering takut berkaca dari bangsa lain dengan bersembunyi dibalik alasan jangan meng'Agung-agung'kan bangsa lain! kalau kita sedang membicarkan kemajauan peradaban bangsa lain. Mungkin kita harus berbesar hati untuk mengambil pelajaran yang baik-baik dan kita meninggalkan pelajaran yang tidak baik. Begitu-lah kira-kira filosofi orang-orang Jepang dengan Bushido-nya.

Masalah sepakbola hanyalah sekelumit permasalahan budaya bangsa. Dalam hal tragedi yang saya sebutkan di atas itu, saya memiliki pemikiran kalau saja peraturan di Indonesia ini rapi, sistematis, konsisten, tegas dalam penegakkannya dan disusun oleh orang-orang yang berwibawa dengan kredibilitas yang tidak diragukan, tentu-lah mungkin kejadian seperti itu tak akan terjadi atau paling tidak seminimal mungkin direduksi. Dengan peraturan yang tegas dan mengikat, pemain tentu akan takut berbuat curang atau melakukan trik yang justru akan membahayakan prestasi pemain lain. Sudah menjadi rahasia umum kalau persaingan menuju Tim idaman juga penuh rintangan, termasuk kecurangan pemain lain dalam proses seleksi, diantaranya adalah melakukan pelanggaran di lapangan yang bisa berakibat fatal dengan cideranya lawan main.

Mendengar saya mengumpankan pemikiran, senior saya itu tadi buru-buru menyambarnya dengan mengajukan pertanyaan teknis spesifik "apa bisa peraturan mencegah kejadian yang seperti ini?".
Saya kemudian menganalogikan dengan banyak hal yang setara dengan itu. Saya memahami, mungkin mas saya itu sedang menggunakan kacamata kuda atau mungkin dia sedang menggunakan mahkota ke-senior-annya. Dia hanya nonton bola tanpa mau tau bagaimana filosofi bermainnya. Kita harus paham bahwa di Inggris, nenek moyangnya bola peraturan begitu rapi, permainan begitu cepat. Mungkin karena itulah Inggris banyak menelorkan peraturan-peraturan sepak bola modern dan persepakbolaan Inggris terkenal dengan istilah Kick and Rush. Di sana, keputusan wasit begitu mutlak, setiap pemain wajib menghormati keputusan itu, walau di kemudian hari ternyata salah. Pelatih saling lempar pernyataan, perang urat saraf (psywar) tetapi saling hormat. Mereka bisa saling puji antar lawan, saling bersimpati bila ada yang terdepak dari kursi kepelatihan. Pernyataannya cerdas, bahkan jika melampaui ketentuan dia bisa diusir dari lapangan dan bisa kena hukuman.

Seperti pada kebanyakan klub sepak bola di dunia, AS Roma (Tim Sepak Bola Ibu Kota Italia, Roma) memiliki pendukung fanatik,
namanya Ultras. Supporter ini siap mati dan suka bikin rusuh untuk intimidasi lawan. Untuk antisipasi berbagia hal dibuatlah peraturan tegas, setiap kerusuhan yang mereka bikin (atau supporter lain), klub juga akan menanggung. Jika mereka sayang pada prestasi klub, maka kerusuhan adalah hal haram bagi mereka!

Berbeda dengan Indonesia, kerusuhan gampang sekali tersulut. Saya tak bisa menghitung berapa banyak wasit yang kena lempar botol minuman, batu, didorong atau dipukul pemain dan atau penonton saat menjalankan tugasnya. Saya juga tak tau berapa banyak stadion di Indonesia terbakar atau rusak jika klub yang mereka gandrungi kalah dalam pertandingan.

Dari sekian kejadian, saya juga tak menginventarisir berapa banyak pelanggaran yang telah dibuat klub bersama supporternya telah mendapat ganjaran yang setimpal yang membuat mereka jera.

Senior saya tadi juga mungkin tak paham berapa banyak nyawa yang melayang kalau tidak ada hukum di dunia ini? Mengutip sebagian kata dari para ahli, manusia itu pembunuh yang sistematis. Pertanyaan saya, berapakah kasus pembunuhan di Indonesia yang terungkap hingga saat ini, yang di dalamnya sudah terdapat peraturan? dan, berapakah nyawa yang akan melayang jika peraturan itu tidak ada?

Saya tidak tau, apakah senior saya tadi pernah membaca atau mendengar informasi (data) statistika dari Kepolisian Indonesia yang mencatat penurunan angka kecelakaan setelah diterapkannya peraturan menyalakan lampu utama pada siang hari untuk pengguna sepeda motor. Berikut ini sebagai contoh saya kutipkan data yang saya unduh dari Suara Merdeka CyberNews "...
Dengan peringkat yang didapatkan oleh Polda Jateng tersebut, Ditlantas harus terus berupaya untuk meningkatkan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran di Jalan dengan menelorkan program-program yang efektif. Di antaranya yang telah dijalankan adalah program keamanan berkendara (Safety Riding).

Program tersebut terbukti mampu menurunkan angka kematian dalam kecelakaan sebesar 19 persen...

Mendengar berbagai argumen yang saya ajukan, senior saya tadi tetap ingin mematahkan pendapat saya. Dia kembali mengulang pertanyaannya, dengan maksud, apakah dengan peraturan itu seorang pemain sudah pasti tidak ada yang mati karena ditendang? disampaikan dengan nada tinggi dan emosi (mungkin karena sebagai senior ternyata isi kepalanya tak sebaik gelarnya dan usianya). Jadi, untuk mengakhiri keruhnya suasana, karena saya merasa cukup kemudian saya bilang (sambil berkata dalam hati, orang ini tidak pinter ternyata) "ya, kalau spesifik seperti itu memang gak mungkin, tapi paling tidak mengurangi resiko dan perbuatan yang membahayakan pemain lain."

Tentu, menurut saya peraturan seperti Program
Safety Riding tidak disusun hanya untuk mencegah kecelakan dengan spesifikasi tertentu, pasti secara umum.

Sampai dengan hari ini, saya masih percaya bahwa peraturan yang tegas dan penegakan yang baik oleh orang bersih dengan wibawanya akan meciptakan ketertiban/kebiasaan yang baik, yang kemudian harapannya kebiasaan yang dipupuk itu akan menjadi kebudayaan. Di dalam dunia kerja juga demikian, kebudayaan itu dapat diciptakan, juga dengan peraturan atau sistem. Kalau anda amati, di beberapa perusahaan, terutama marketing/sales untuk memberikan semagat dan menjaga kekompakan mereka memiliki yel-yel yang khas atau mengucapkan semacam butir-butir tertentu.

Di setiap perusahaan tentu memiliki Visi dan Misi, juga pasti ada peraturan. Kesemuanya itu merupakan kebijakan yang akan menyokong budaya kerja sehingga akan menguntungkan produktifitas perusahaan.

Namun, tentu anda bisa membayangkan apa yang terjadi jika senior saya tadi ternyata merupakan pemegang kebijakan sebuah sistem, koordinator tenaga kerja harian. Saya jadi teringat pernyataan tokoh yang saya kagumi, Mahfud MD. saat melaporkan makelar kasus ke Satgas Pemberantasan Mafia Peradilan. Pada kesempatan itu, sebagaimana dikutip oleh Harian Kompas, beliau menerangkan bahwa banyak pejabat yang tidak melaporkan kasus karena terbelit kepentingan. jadi, secara bebas saya sadur jika seseorang menjadi pemegang kebijakan tidak bersih atau telah melakukan kecurangan, maka dia akan cenderung menganggap wajar atau mentolerir beberapa kecurangan yang dilakukan bawahannya. Dia juga akan memberikan kelonggaran supaya dianggap baik oleh bawahanya sehingga kecurangan yang dia lakukan tertutupi.

Ya, ternyata budaya kerja tenaga harian yang dipimpinnya sangat tidak etis. Mereka tidak bekerja profesional, sering mendahulukan pekerjaan 'bos' dan bos-bos lain, sering menunda pekerjaan staf junior, tidak jarang juga mereka meminta lembur yang mereka sendiri merekayasa waktunya. Mereka juga tidak disiplin dalam menjalankan tugasnya, lalai melakukan tugas rutin, bekerja tidak rapi dan sering salah atau tidak sesuai sistematika percobaan.

Nah, jika pekerja anda tidak disiplin, apakah budaya kerja akan baik?. Jika pekerja tidak patuh pada aturan atasan, maka apakah pekerjaan sesuai standart. Jika pekerja selalu menunda pekerjaan, apakah program akan selesei tepat pada waktunya? dan bila mereka mengundur-undur waktu dengan harapan diberi jatah lembur, apakah keuangan perusahaan akan efisien? Jika anda sebagai pemegang kebijakan mengahalalkan tindakan seperti itu, maka wajar jika anda juga melakukannya.

Isi presensi titip, pulang awal, datang telat. Pergi meninggalkan kantor dan pekerjaan tanpa ijin, menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, manipulasi odometer, pergi ke acara pribadi dan meninggalkan pekerjaan dan kantor tanpa cuti dan banyak hal lainnya.

MAKA, APAKAH MUNGKIN ORANG SEPERTI INI AKAN MENGHASILKAN SISTEM YANG RAPI DENGAN SISTEMATIS UNTUK MENGHINDARI KECURANGAN DAN MENCIPTAKAN BUDAYA KERJA DENGAN BAIK? SAYA RASA, JAWABANYA SAMA DENGAN YANG TELAH DIKEMUKAN KETUA MK RI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumbang Tanduk, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae): Hama Utama Tanaman Kelapa Sawit

Aktifitas makan (serangan) kumbang tanduk dapat sangat merusak tanaman baik tanaman muda maupun tanaman yang sudah produktif, serangga ini juga dapat menyerang kelapa santan ( Cocos nucifera ) maupun kelapa sawit ( Elaeis guineensis ). Serangga menyerang semua bagian tanaman yang nampak/berada di atas permukaan tanah, baik batang, pelepah, maupun pucuk (titik tumbuh). Aktifitas makan tersebut menimbulkan lubang gerekan pada batang, pelepah dan daun yang membentuk menyerupai huruf "V" atau seperti kipas. Gejala serangan kumbang tanduk pada tanaman sawit muda (TBM) dan tanaman kelapa santan ( C. nucifera ) Kumbang tanduk yang dominan ditemukan pada tanaman kelapa sawit adalah jenis  Oryctes rhinoceros.  Jenis ini   memang telah lama diketahui peranannya sebagai serangga pengganggu yang dapat menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit, terutama tanaman muda (TBM). Pembukaan lahan tanpa pembakaran ( zero   burning ) disinyalir dapat meningkatkan kemungkinan serangan l

JENIS-JENIS JAMUR KONSUMSI (EDIBLE MUSHROOM)

Kebutuhan jamur konsumsi semakin hari semakin meningkat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dab tehnologi saat ini, beberapa jamur konsumsi dapat dengan mudah dibudidayakan, antara lain jamur Shitake, jamur Champignon, jamur Merang, Jamur Kupimg dan jamur Tiram. Ini dia jenis-jenis jamur konsumsi: Jamur Kancing ( Agaricus bisporus ) Jamur kancing merupakan jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan di dunia, sekitar 38% dari total produksi jamur dunia. Jamur kancing ( Agaricus bisporus ) atau champignon merupakan jamur pangan yang berbentuk hampir bulat seperti kancing dan berwarna putih bersih, krem, atau coklat muda. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai table mushroom , white mushroom , common mushroom atau cultivated mushroom . Di Perancis disebut sebagai champignon de Paris. Jamur kancing dijual dalam bentuk segar atau kalengan, biasanya digunakan dalam berbagai masakan Barat seperti omelet, pizza, kaserol, gratin, dan selada. Jamur kancing memiliki aroma unik

Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV)

Tomato Yellow Leaf Curl Virus (TYLCV) atau Virus kuning-keriting pada daun tanaman tomat merupakan salah satu anggota dari Virus yang tergolong dalam Suku Geminiviridae, Marga Begomovirus. Serangan TYLCV pada tanaman tomat dapat menyebabkan daun tanaman menggulung, mengeras, bertekstur kasar dan lebih tebal dibanding tanaman normal. Daun tanaman yang terserang juga akan mengalami klorosis ( yellowing ) dan mengkerut/keriting ( curly ). Gangguan tersebut hanya dapat terjadi pada daun baru yang terbentuk setelah tanaman terinfeksi, sedangkan daun tua tetap dan tidak mengalami penyusutan. Hal ini yang menyebabkan tanaman tampak ganjil karena daun pada bagian bawah tanaman tampak lebih lebat jika dibandingkan daun yang berada pada bagian atas. Tanaman rentan yang terserang pada fase perkembangan generatif dapat menyebabkan tanaman kerdil (stunting), jika serangan berlangsung hingga fase generatif maka buah yang dihasilkan akan berukuran kecil. Penyebaran TYLCV TYLCV tidak menular me