Langsung ke konten utama

Ngangsu Kaweruh (Menimba Ilmu) bab Burung Hantu dari Tanah Para Wali, Demak, JATENG

Kota Demak yang juga dikenal sebagai Kota Para Wali memang menyimpan sisi historis yang teramat mengangumkan. Di sini terdapat peninggalan sejarah berupa Masjid Agung yang diyakini sebagai pusat organisasi dakwah Islam di tanah Jawa oleh para Wali yang berjumlah sembilan (Wali Songo). Salah satu tiangnnya diceritakan dibangun dari tumpukan "tatal" (sisa-sisa potongan kayu) hasil karya Sunan Kalijaga. Selain masjid, di daerah ini ada juga makam Sunan kalijaga dan Makam Raja-raja beserta keluarga Keraton Demak.


Namun, kedatangan saya ke Kota Demak bukan untuk alasan itu, melainkan ingin membuktikan cerita tentang kesuksesan petani di sebuah desa di sana dalam pengembangan burung hantu jenis Tyto alba. Katanya, desa ini sudah menjadi kiblat dalam pengendalian tikus dan pelestarian musuh alaminya. Benar saja, sebentar setelah masuk gerbang desa, sepanjang jalan menuju pusat aktifitas desa (pemukiman), deretan sangkar burung hantu sudah nampak di sebelah kiri dan kanan jalanan selebar sekitar 2 mobil minibus ini.

Desa itu bernama Tlogoweru, terletak di Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Keberhasilannya dalam melakukan konservasi burung hantu tak hanya kondang sebatas di Provinsi Jawa Tengah saja, tetapi juga masyur hingga luar negri. Bahkan, saat ini desa tersebut telah menjadi destinasi wisata baru di Jawa Tengah. Kampung tersebut juga telah berkali-kali diliput media cetak maupun elektronik dan ramai diperbincangkan di dunia maya. Artikel ataupun tulisan populer tentang desa dan burung hantunya juga sudah ramai di internet.

Di perusahaan perkebunan kelapa sawit, burung hantu jenis Tyto alba memang sudah jamak digunakan sebagai pengendali alamiah untuk menekan perkembangan populasi tikus. Tetapi, di desa itu tidak ada perkebunan sawit. Burung hantu dikembangkan di tengah ladang dan sawah. Perbedaan mendasar di antara kedua habitat inilah yang menarik, yang satu di areal perkebunan dengan pohon-pohon tinggi dan hutan, sedangkan yang satunya lagi di areal ladang dan persawahan dengan pemukiman padat penduduk yang minim hutan dan pastinya banyak dijumpai binatang ternak jenis unggas. Sementara itu, burung hantu adalah burung sensitif yang biasa hidup di lingkungan tertutup.

Lalu, bagaimana mereka bisa mengembangkan burung hantu? Berapakah rasio sangkar dalam luasan tertentu, bagaimanakah design guponnya, bagaimana tata kelola gupon di dalam areal, bagaimana pengamatan perkembangannya, bagaimana sejarah dan awal mula pengembangan burung hantu, serta banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang ingin saya cari tahu jawabannya di tempat ini.

Kandang Karantina dan Sinergi Burung Hantu
Satu pertanyaan yang langsung mendapatkan jawaban kongkrit saat berkunjung adalah tentang sinergi burung hantu dan unggas ternak pada satu areal yang sama. Walaupun secara literasi pertanyaan ini sudah bisa dijawab, tetapi serasa tidak afdol kalau tidak dibuktikan dengan fakta nyata yang dilihat dengan mata kepala sendiri. Jawaban dari pertanyaan ini juga untuk mengkonfirmasi (memastikan) hipotesis bahwa burung hantu tidak memangsa unggas ternak, sehingga tuduhan beberapa orang akan terpatahkan.

Ajaib sekali, semula saya hanya ingin bertanya dan menyangka jawabannya akan bersifat kualitatif tanpa data dan trial. Tetapi justru saya langsung disuguhi pemandangan menakjubkan yang menjawab kegalauan tadi. Di dalam Kandang Karantina, terlihat dengan jelas ada 2 jenis burung hantu dan 2 jenis unggas ternak lain berada di dalam satu kandang yang sama dan hidup rukun berdampingan!. “..yang penting burung hantu tidak sampai kelaparan pak..”, kata anggota tim Tyto alba.

Burung Hantu Tyto alba dan Burung Hantu dari Marga Otus.

Burung Hantu hidup berdampingan dengan unggas ternak lain, Ayam dan Burung Merpati.

Kandang karantina ini terbuat dari beton setinggi 1,3 meter dan selebihnya berdinding kawat anyam dengan tinggi keseluruhan 7 meter, panjang 12 meter dan lebar 6 meter. Pembuatan kandang karantina digunakan untuk menampung anakan umur 2-4 bulan dan sekaligus sebagai tempat penyelamatan serta pengenalan lingkungan/adaptasi bagi burung hantu. Kandang ini juga dimanfaatkan untuk display ataupun tempat penampungan burung hantu siap terbang bila ada permintaan introduksi ke tempat lain.

Penampakan Fisik Bangunan Kandang Karantina

Sejarah Pengembangan Burung Hantu
Sebelum sukses mengembangkan burung hantu Tyto alba, menurut pengakuan Kepala Desa dan Ketua Tim (Pengembangan) Tyto Alba, Sejak tahun 1965 Tlogoweru sangat kerepotan dengan “penjajahan” oleh serangan hama tikus. Kerusakan tanaman terjadi baik pada pertanaman padi, ketela pohon, maupun jagung. Berbagai upaya telah dilakukan untuk melawan serangan hama tikus, mulai gropyokan (pembongkaran sarang-sarang tikus dan membunuhnya langsung secara beramai-ramai), kemposan (pengasapan liang/rumah tikus) dengan sulfur (belerang), mewajibkan tiap warganya setor “buntut” (ekor) tikus, hingga yang lebih extreme, “Kampanye Makan Tikus”.

Kerusakan tanaman jagung dan tanaman ubi kayu akibat serangan hama tikus di desa Tlogoweru, Kec. Guntur, Demak, Jawa Tengah.

Hingga akhirnya pada bulan Mei 2011 secercah harapan muncul di kampung ini, warga menguji-cobakan burung pemangsa tikus jenis Tyto alba untuk menanggulangi serangan hama pengerat yang selama ini menjadi hantu mengerikan. Melalui beberapa pengamatan kecil, warga mulai melakukan identifikasi keberadaan burung hantu di sekitar desa hingga ditemukan di beberapa gedung yang dijadikan sarang, antara lain adalah di gedung sekolah dasar yang plafonnya berlubang dan dijumpai banyak pellet, kotoran dan bulu-bulu. Dari sinilah awal mula populasi yang dikembangkan di ladang dan persawahan.

Konon, menurut ceritanya, pemanfaatan burung hantu ini terilhami dari mimpi salah satu petani yang melihat seekor burung tengah menerkam tikus. Boleh percaya, boleh juga tidak, tapi ini bisa dimaklumi kalau sampai terbawa ke dalam mimpi. Mungkin saja, karena sebegitu melelahkannya “berperang” melawan kawanan tikus yang populasinya sangat explosive ini.

Bisa kita bayangkan, menurut kajian ilmiah, tikus sawah dapat berkembang biak (matang seksual) mulai umur 28 hari sampai dengan umur 5 bulan. Setelah kawin, masa bunting dan menyusui masing-masing memerlukan waktu 21 hari. Seekor tikus betina melahirkan rata-rata 8 ekor anak setiap kali melahirkan, dan mampu kawin lagi dalam tempo 48 jam setelahnya. Tikus, juga mampu hamil sambil menyusui dalam waktu yang bersamaan. Selama satu tahun seekor betina dapat melahirkan 4 kali, sehingga dalam satu tahun dapat dilahirkan 32 ekor anak, dan dari setiap satu pasang tikus tersebut dapat mencapai populasi sekitar 1.200 ekor turunan (petanihebat.com). Sedangkan di Desa Tlogoweru, tikus sudah merusak sepanjang 46 tahun!, wajar saja kalau banyak petani mejadi stress sampai-sampai terbawa ke dalam mimpi.

Sejak penemuan burung predator itu, semangat pertanian di desa Tlogoweru kembali menggeliat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh pemerintahan desa, kerusakan tanaman padi dan jagung akibat serangan hama tikus turun drastis dari 4,2-4,8 ton/ha (tahun 2010) menjadi hanya 0,35-0,4 ton/ha (tahun 2012), selain meningkatkan hasil panen, keberhasilan pengembangan burung hantu ini juga mampu mengundang banyak tamu dari berbagai macam latar belakang, mulai anak-anak hingga orang dewasa, dari akademisi, petani, militer hingga turis (wisatawan), dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kepala Desa Tlogoweru juga sudah sering diundang dalam berbagai kesempatan di dalam dan luar negeri.

Rubuha (Rumah Burung Hantu)
Melihat dampaknya yang luar biasa bagi pertanian di kampungnya, warga dengan dukungan pemerintah desa memperbanyak sangkar-sangkar burung hantu cantik ini, baik secara swakarsa maupun hasil bantuan dari perusahaan. Di sini, gupon atau sangkar burung hantu (nest box) dinamai Rubuha, kependekan dari Rumah Burung Hantu. “..kalau gupon kan sudah menjadi hak milik merpati pak, jadi biar tidak ada komplain..” kata Ketua Tim Tyto alba berkelakar. Di daerah ini, dan di daerah lain di Pulau Jawa, kandang atau sangkar burung merpati memang dinamakan dengan sebutan gupon.

Tidak ada aturan baku mengenai rasio penempatan gupon, pun begitu tidak ada petunjuk khusus arah rubuha harus menghadap, hanya saja, ada patokan minimal untuk dimensi rubuha berpintu tunggal, yaitu berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-maasing 60x40x40 cm. Walaupun demikian, hampir seluruh rubuha dengan berbagai varian design yang ada, aktif dan produktif. Sekarang, desa-desa di sekitar juga sudah mulai meniru cara yang sama dalam menangani laju populasi tikus.

Variasi rancang bangun rubuha/gupon burung hantu di Ds. Tlogoweru, Demak, JATENG.

Untuk keperluan introduksi atau pengembangan di lapangan, burung hantu yang siap terbang akan disekap (dikurung) terlebih dulu di dalam sangkar (nest box) selama 3 hari dengan dikirimi makanan berupa daging tikus atau ayam. Setelah 3 hari selesai, baru kemudian pintu dibuka dan burung hantu dibiarkan liar. Pada tahap perkembangan awal, Tim Tyto alba desa ini menyarankan agar rubuha/gupon diletakkan saling berdekatan satu sama lain. Alasan yang dikemukakan, meskipun termasuk burung soliter, burung hantu juga memerlukan komunitas.
Rubuha atau Gupon diletakkan dengan jarak yang relatif dekat, hanya beberapa ratus meter saja, alasan yang paling sederhana adalah sebagai tempat bertengger saat mencari mangsa dan berlatih terbang bagi anakan.

Jarak antar rumah burung hantu (rubuha) di dalam areal persawahan dan ladang

Burung hantu, secara tidak langsung menjadi “berkah” bagi warga penduduk desa Tlogoweru. Selain hasil pertanian yang meningkat, tamu-tamu dan undangan datang silih berganti, beberapa perusahaan swasta perkebunan kelapa sawit juga meminta jasanya untuk menjadi penasehat (konsultan) pengembangan burung hantu di kebunnya. Bahkan, beberapa kebun lainnya juga meminta salah satu warga untuk dijadikan karyawan yang khusus menangani pengembangan burung hantu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumbang Tanduk, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae): Hama Utama Tanaman Kelapa Sawit

Aktifitas makan (serangan) kumbang tanduk dapat sangat merusak tanaman baik tanaman muda maupun tanaman yang sudah produktif, serangga ini juga dapat menyerang kelapa santan ( Cocos nucifera ) maupun kelapa sawit ( Elaeis guineensis ). Serangga menyerang semua bagian tanaman yang nampak/berada di atas permukaan tanah, baik batang, pelepah, maupun pucuk (titik tumbuh). Aktifitas makan tersebut menimbulkan lubang gerekan pada batang, pelepah dan daun yang membentuk menyerupai huruf "V" atau seperti kipas. Gejala serangan kumbang tanduk pada tanaman sawit muda (TBM) dan tanaman kelapa santan ( C. nucifera ) Kumbang tanduk yang dominan ditemukan pada tanaman kelapa sawit adalah jenis  Oryctes rhinoceros.  Jenis ini   memang telah lama diketahui peranannya sebagai serangga pengganggu yang dapat menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit, terutama tanaman muda (TBM). Pembukaan lahan tanpa pembakaran ( zero   burning ) disinyalir dapat meningkatkan kemungkinan serangan l

JENIS-JENIS JAMUR KONSUMSI (EDIBLE MUSHROOM)

Kebutuhan jamur konsumsi semakin hari semakin meningkat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dab tehnologi saat ini, beberapa jamur konsumsi dapat dengan mudah dibudidayakan, antara lain jamur Shitake, jamur Champignon, jamur Merang, Jamur Kupimg dan jamur Tiram. Ini dia jenis-jenis jamur konsumsi: Jamur Kancing ( Agaricus bisporus ) Jamur kancing merupakan jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan di dunia, sekitar 38% dari total produksi jamur dunia. Jamur kancing ( Agaricus bisporus ) atau champignon merupakan jamur pangan yang berbentuk hampir bulat seperti kancing dan berwarna putih bersih, krem, atau coklat muda. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai table mushroom , white mushroom , common mushroom atau cultivated mushroom . Di Perancis disebut sebagai champignon de Paris. Jamur kancing dijual dalam bentuk segar atau kalengan, biasanya digunakan dalam berbagai masakan Barat seperti omelet, pizza, kaserol, gratin, dan selada. Jamur kancing memiliki aroma unik

Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV)

Tomato Yellow Leaf Curl Virus (TYLCV) atau Virus kuning-keriting pada daun tanaman tomat merupakan salah satu anggota dari Virus yang tergolong dalam Suku Geminiviridae, Marga Begomovirus. Serangan TYLCV pada tanaman tomat dapat menyebabkan daun tanaman menggulung, mengeras, bertekstur kasar dan lebih tebal dibanding tanaman normal. Daun tanaman yang terserang juga akan mengalami klorosis ( yellowing ) dan mengkerut/keriting ( curly ). Gangguan tersebut hanya dapat terjadi pada daun baru yang terbentuk setelah tanaman terinfeksi, sedangkan daun tua tetap dan tidak mengalami penyusutan. Hal ini yang menyebabkan tanaman tampak ganjil karena daun pada bagian bawah tanaman tampak lebih lebat jika dibandingkan daun yang berada pada bagian atas. Tanaman rentan yang terserang pada fase perkembangan generatif dapat menyebabkan tanaman kerdil (stunting), jika serangan berlangsung hingga fase generatif maka buah yang dihasilkan akan berukuran kecil. Penyebaran TYLCV TYLCV tidak menular me