Langsung ke konten utama

SISTEM PENGENDALIAN HAMA SECARA TERPADU (PHT): SEJARAH PERKEMBANGAN

SEJARAH

Perkembangan ssitem pengendalian hama secara terpadu memiliki sejarah yang teramat panjang. Sejarah ini bahkan sebelum manusia mengenal sistem pertanian atau bercocok tanam. Untuk memperjelas ini, maka para ahli membaginya menjadi 4 tahapan, yaitu;

  1. Era Pra Pestisida
  2. Era Pestisida atau Era Optimisme (1945-1962)
  3. Era Pasca Pestisida Era Keraguan (1962-1972)
  4. Era PHT (1972- saat ini)

ERA PRA-PESTISIDA. atau sebelum orang mengenal pestisida. Masa ini terjadi pada kehidupan manusia pra-sejarah. Masa ini juga bisa digolongkan menjadi 3 tahapan, yaitu; a) Era manusia masih nelum mnegenal bercocok tanam, kehidupannya masih berpindah-pindah (nomaden) dan berburu. Hama yang dikenal pada masa ini masih terbatas pada kutu-kutan, nyamuk dan sejenisnya. b). Tahap kedua, sekitar 10 ribu tahun lalu, ketika manusia pra-sejarah sudah mengenal sistem bertani dan mulai menyimpan hasil panennya di dalam gudang. Pada saat ini manusia sudah semakin menyadari kehadiran organisme pengganggu dan keperluan melakukan pengendalian. Namun demikian, pengendaluiannya masih dipengaruhi oleh keyakinan berupa sesajen, tari-tarian dll. c). Tahap ketiga yaitu ketika manusia sudah melakukan pengendalian dengan emnggunakan dasar pengetahun dan pemahaman sifat-sifat biologi dan pemanfaatan musuh alami.

ERA OPTIMISME. Era ini bisa juga disebut sebagai massa dimana manusia merasa sudah menemukan teknik paling efektif dalam mengendalikan gangguan organisme lain. Temuan pestisida DDT (Dichloro Diphenyl-Tri-choloroethane) pertama kali disintesis oleh Othmar Zeidler XE "Zeidler" pada tahun 1873, tapi sifat insektisidanya baru ditemukan oleh Dr. Paul Mueller XE "Dr Paul Mueller" pada tahun 1939 (menlhk.go.id). Pada awalnya, DDT digunakan sebagai insektisida dalam bidang pertanian dan perkebunan untuk mengendalikan serangga yang merusak tanaman seperti kutu daun, kutu putih, dan nyamuk vektor malaria.Selanjutnya, DDT mulai diproduksi secara massal dan digunakan dalam Perang Dunia II (1950-1960) untuk mengendalikan penyakit dan serangga yang menyebar di medan perang. Setelah perang usai, DDT menjadi insektisida yang sangat populer di seluruh dunia. Pestisida ini dianggap sebagai solusi yang efektif dan relatif murah untuk mengendalikan serangga yang merusak tanaman dan serangga vektor penyakit, seperti malaria.

Menurut WHO, temuan DDT dapat menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus selama perang dunia kedua.  Oleh karena temuannya ini, Paul Muller kemudian diganjar nobel dalam bidang fisiologi atau kedokteran pada tahun 1984 (menlhk.go.id). Paul Müller lahir di Olten, Solothurn, Swiss, pada 12 Januari 1899, dan masa kecilnya dihabiskan di Lenzburg, Aargau, tempat kelahiran ayahnya yang merupakan pegawai Kereta Api Federal Swiss (nobelprize.org).

DI INDONESIA, DDT digunakan sejak tahun 1959 hingga 1968 dengan bantuan dari badan kesehatan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan USAID pada program pemberantasan malaria atau yang dikenal dengan istilah Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Program ini diseahkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 12 November 1959 dengan melakukan penyemprotan rumah di Desa Kalasan, DIY. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional hingga saat ini (Ningsih 2022).

Dalam dunia pertanian, temuan ini memicu temuan-temuan insektisida lain dan sekaligus merubah paradigma (cara pandang) orang dari pengendalian biologis yang dikenal pada masa pra-pestisida akhir menjadi pengendalian berbasis pada euforia penggunaan insektisida sintetis.

Selama era optimisme ini, petani banyak melakukan aplikasi insektisida secara terjadwal dan menjadikannya tumpuan utama dalam menjamin keberhasilan usaha budidayanya. Selama ini pula, petani mengesampingkan banyak metode lain, seperti rotasi tanaman, pengaturan waktu tanam, dan dtinggalkannya pemanfaatan musuh alami. Paradigma yang muncul kemudian adalah pembasmian atau pemusnahan hama.

Perilaku ini dapat dipahami, karena sifat insektisida saat itu dianggap sebagai cara yang paling efektif, bekerja cepat, dapat disesuaikan dengan berbagai keadaan dan sering memberikan keuntungan yang sangat nyata.

ERA KERAGUAN. Perilaku pada masa optimisme itu membuat banyak orang terlena. Kemudian disadari bahwa penggunaan pestisida secara terjadwal dan berlebihan dapat menyebabkan efek samping, yaitu Resistensi, Resurgensi, Munculnya hama sekunder (Species Replacement) dan Residu atau terjadinya pencemaran lingkungan. Polusi ini menganggu dalam spektrum yang luas, aves, bintang tanah seperti cacing hingga serangga menguntungkan bagi ekosistem dan ekonomi, seperti predator, parasitoid dan lebah madu.

Laporan resistensi DDT pertama kali terjadi di Swedia pada tahun 1946 adalah lalat rumah. Resisten OPT dapat terjadi karena adanya perbedaan tingkat mortalitas pada populasi akibat adanya tekanan seleksi alam. Setidaknya ada 10 jenis serangga yang diketahui resisten terhadap insektisida, yaitu; Tetranychus urticae, Plutella xylostella, Myzus persicae, Leptinotarsa decemlineata, Musca domestica, Blatella germanica, Boophilus microplus, Bemisia tabaci, Panonychus ulmi, dan Helicoverpa armigera.

Gambar 1. Mekanisme resistensi serangga terhadap paparan insektisida (Liverpool School of Tropical Medicine)

Mekanisme resistensi tidak saja terjadi sebagaimana ilustrasi di atas, tetapi juga secara homologis. Homologisasi pada resistensi serangga mengacu pada fenomena di mana serangga mengembangkan resistensi terhadap pestisida atau insektisida yang digunakan untuk mengendalikan populasi mereka dengan cara memodifikasi molekul target dari pestisida tersebut dengan cara mengubah strukturnya sehingga pestisida tidak dapat lagi mengikat ke molekul target yang dimodifikasi secara efektif.

Dalam konteks ini, homologisasi terjadi ketika gen yang mengodekan target molekul pestisida mengalami mutasi atau variasi genetik, sehingga molekul target yang dihasilkan oleh gen tersebut menjadi kurang peka terhadap pengaruh pestisida yang digunakan. Dalam hal ini, homologisasi mengacu pada kemiripan atau kesamaan struktur molekuler antara molekul target yang dimodifikasi dan molekul target yang tidak dimodifikasi dalam populasi serangga yang belum terpapar pestisida.

Gambar 2. Ilustrasi cara kerja insektisida hingga menyebabkan kematian serangga (menurut IFAS University of Florida)

Selain Resistensi, dampak buruk lain dari aplikasi pestisida tidak bijaksana adalah terjadinya resurgensi. Menurut KBBI Kemendikbud, resurgensi (resurjensi) diartikan sebagai kebangkitan; bangkit lagi; timbul kembali. Dengan demikian resurjensi dapat diartikan meningkatnya populasi serangga atau hama setelah aplikasi pestisida, dan kematian sebagian besar musuh alami. Dengan demikian, perkembangan populasi hama tidak terkontrol secara alamiah. Ilustrasi resurgensi digambarkan di dalam Gambar 2.

Gambar 3. Ilustrasi kejadian resurjensi pada serangga hama (menurut IFAS University of Florida)

Pengaruh negatif lain dari penggunaan insektisida secara berlebihan adalah munculnya hama sekunder. Mekanisme kemunculan hama sekunder terjadi hampir sama dengan resurgensi, hanya saja serangga hama di suatu area yang diaplikasikan insektisida ada dua jenis. Dengan demikian, penurunan populasi hama utama menyebabkan minimnya persaingan yang terjadi, baik dengan hama utama dan musuh alaminya.

ERA PENGENDALIAN HAMA SECARA TERPADU. Berdasarkan berbagai dampak negatif dalam aplikasi pestisida tersebut, kemudian muncul konsep baru tentang pengelolaan hama, yaitu Pengelolaan secara Terpadu (PHT). Secara definitif, Pengelolaan Hama secara Terpadu (PHT) adalah suatu pendekatan pengendalian hama yang holistik dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. PHT dilakukan dengan memadukan berbagai metode pengendalian hama yang kompatibel, efektif dan efisien, dengan pertimbangan nilai-nilai sosial, ekonomi dan budaya yang ada di sekitar, termasuk metode biologis, mekanis, fisik, dan kimia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumbang Tanduk, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae): Hama Utama Tanaman Kelapa Sawit

Aktifitas makan (serangan) kumbang tanduk dapat sangat merusak tanaman baik tanaman muda maupun tanaman yang sudah produktif, serangga ini juga dapat menyerang kelapa santan ( Cocos nucifera ) maupun kelapa sawit ( Elaeis guineensis ). Serangga menyerang semua bagian tanaman yang nampak/berada di atas permukaan tanah, baik batang, pelepah, maupun pucuk (titik tumbuh). Aktifitas makan tersebut menimbulkan lubang gerekan pada batang, pelepah dan daun yang membentuk menyerupai huruf "V" atau seperti kipas. Gejala serangan kumbang tanduk pada tanaman sawit muda (TBM) dan tanaman kelapa santan ( C. nucifera ) Kumbang tanduk yang dominan ditemukan pada tanaman kelapa sawit adalah jenis  Oryctes rhinoceros.  Jenis ini   memang telah lama diketahui peranannya sebagai serangga pengganggu yang dapat menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit, terutama tanaman muda (TBM). Pembukaan lahan tanpa pembakaran ( zero   burning ) disinyalir dapat meningkatkan kemungkinan serangan l

JENIS-JENIS JAMUR KONSUMSI (EDIBLE MUSHROOM)

Kebutuhan jamur konsumsi semakin hari semakin meningkat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dab tehnologi saat ini, beberapa jamur konsumsi dapat dengan mudah dibudidayakan, antara lain jamur Shitake, jamur Champignon, jamur Merang, Jamur Kupimg dan jamur Tiram. Ini dia jenis-jenis jamur konsumsi: Jamur Kancing ( Agaricus bisporus ) Jamur kancing merupakan jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan di dunia, sekitar 38% dari total produksi jamur dunia. Jamur kancing ( Agaricus bisporus ) atau champignon merupakan jamur pangan yang berbentuk hampir bulat seperti kancing dan berwarna putih bersih, krem, atau coklat muda. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai table mushroom , white mushroom , common mushroom atau cultivated mushroom . Di Perancis disebut sebagai champignon de Paris. Jamur kancing dijual dalam bentuk segar atau kalengan, biasanya digunakan dalam berbagai masakan Barat seperti omelet, pizza, kaserol, gratin, dan selada. Jamur kancing memiliki aroma unik

Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV)

Tomato Yellow Leaf Curl Virus (TYLCV) atau Virus kuning-keriting pada daun tanaman tomat merupakan salah satu anggota dari Virus yang tergolong dalam Suku Geminiviridae, Marga Begomovirus. Serangan TYLCV pada tanaman tomat dapat menyebabkan daun tanaman menggulung, mengeras, bertekstur kasar dan lebih tebal dibanding tanaman normal. Daun tanaman yang terserang juga akan mengalami klorosis ( yellowing ) dan mengkerut/keriting ( curly ). Gangguan tersebut hanya dapat terjadi pada daun baru yang terbentuk setelah tanaman terinfeksi, sedangkan daun tua tetap dan tidak mengalami penyusutan. Hal ini yang menyebabkan tanaman tampak ganjil karena daun pada bagian bawah tanaman tampak lebih lebat jika dibandingkan daun yang berada pada bagian atas. Tanaman rentan yang terserang pada fase perkembangan generatif dapat menyebabkan tanaman kerdil (stunting), jika serangan berlangsung hingga fase generatif maka buah yang dihasilkan akan berukuran kecil. Penyebaran TYLCV TYLCV tidak menular me